BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang masalah
Bagaimanakah hukum ijarah
menurut empat madzhab tersebut? Pendapat manakah yang paling relevan?
B.
Tujuan penulisan
Dengan
berdasarkan LBM di atas maka penulis bersasumsi agar kiranya menemukan pandapat dan ketetapan manakah
diantara keempat madzhab tersebut yang paling relevan.
C.
Manfaat
Guna untuk menelaah dan kemudian menerapkan
hukum tersebut kepada kehidupan (interaksi) sesama kaum muslim.
D.
Sistematika
Kata Pengantar
Daftar
Isi
BAB
I: PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
B.
Tujuan Penulisan
C.
Manfa’at
D.
sistematika
BAB
II: PEMBAHASAN
A. Pengertian Ijarah
1) Menurut Hanafi
2) Menurut Syafi’iyah
3) Menurut
Malikiyah dan Hanabillah
4) Pengertian yang
paling relevan
B. Syarat Ijarah
1.
Menurut Hanafi
2.
Menurut Syafi’iyah
3.
Menurut Malikiyah dan Hanabillah
4.
Syarat yang paling relevan
C. Rukun Ijarah
a)
Menurut Hanafi
b)
Menurut Syafi’iyah
c)
Menurut Malikiyah dan Hanabillah
d)
Rukun yang paling relevan
D. Hukum Ijarah
a)
Menurut Hanafi
b)
Menurut Syafi’iyah
c)
Menurut Malikiyah dan Hanabillah
d)
Hukum yang paling relevan
E. Tabel
BAB III PENUTUP
Kesimpulan
DAFTAR
PUSTAKA
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Ijarah
Sebelum dijelaskan pengertian sewa menyewa dan upah
atau ijarah, terlebih dahulu akan dikemukakan mengenai makna operasional
ijarah itu sendiri. Idris Ahmad dalam bukunya yang berjudul Fiqih Syafi’i berpendapat
ijarah berarti upah mengupah. Hal ini terlihat ketika beliau menerangkan rukun
dan syarat upah mengupah, yaitu mu’jir dan musta’jir (yang
memberikan upah dan yang menerima upah), sedangkan Nor Hasanuddin sebagai
penerjemah Fiqih Sunnah karya Sayyid Sabiq menjelaskan makna ijarah dengan sewa
menyewa.
Dari dua buku tersebut ada perbedaan terjemahan kata
ijarah dari bahasa Arab kedalam bahasa Indonesia. Antara sewa dan upah juga ada
perbedaan makna operasional, sewa biasanya digunakan untuk benda, seperti
“seorang mahasiswa menyewa kamar untuk tempat tinggal selama kuliah”, sedangkan
upah digunakan untuk tenaga, seperti “para karyawan bekerja dipabrik dibayar
gajinya (upahnya) satu kali dalam seminggu”.
Secara etimologis al-ijarah berasal dari kata al-ajru
yang arti menurut bahasanya ialah al-iwadh yang arti dalam bahasa
indonesianya adalah ganti dan upah. Sedangkan menurut Rahmat Syafi’I dalam
fiqih Muamalah ijarah adalah بيع المنفعة (menjual manfaat).
Dalam syari’at Islam ijarah adalah jenis akad untuk
mengambil manfaat dengan kompensasi. Sedangkan menurut Sulaiman Rasjid
mempersewakan ialah akad atas manfaat (jasa) yang dimaksud lagi diketahui,
dengan tukaran yang diketahui, menurut syarat-syarat yang akan dijelaskan
kemudian.
Berdasarkan hal itu, menyewakan pohon agar dimanfaatkan
buahnya hukumnya tidak sah karena pohon itu sendiri bukan keuntungan atau
manfaat. Demikian juga menyewakan dua jenis mata uang (emas dan perak), makanan
untuk dimakan, barang yang dapat ditakar dan ditimbang. Alasannya semua jenis
barang tersebut tidak dapat dimanfaatkan kecuali dengan mengkonsumsi bagian
dari barang tersebut. Hukum sewa juga diberlakukan atas sapi, domba atau unta
untuk diambil susunya. Akad sewa mengharuskan penggunaan manfaat dan bukan
barang itu sendiri.
Suatu manfaat, terkadang berbentuk manfaat atas barang,
seperti rumah untuk ditempati, mobil untuk dikendarai. Kadangkala dalam bentuk
karya seperti karya seorang arsitek, tukang tenun, penjahit.
Apabila akad sewa diputuskan, penyewa sudah memliki hak
atas manfaat dan pihak yang menyewakan berhak mengambil kompensasi sebab sewa
adalah akad mu’awwadhah timbal balik
Jadi, bisa kita simpulkan bahwa Al–ijarah berasal dari kata Al–Ajru yang arti
menurut bahasanya iaiah al–‘iwadh yang arti dalam bahasa indonesianya iaiah sewa,
jasa, ganti dan upah. Al- Ijarah merupakan salah satu bentuk kegiatan
mu’amalah dalam memenuhi keperluan hidup manusia, seperti sewa-menyewa,
kontrak, atau menyewakan jasa perhotelan dan lain-lain.
Menurut etimologi
ijarah adalah (menjual manfaat). Demikian juga artinya menurut
terminology syara’ untuk lebih jelasnya, dibawa ini akan kemukakan beberapa
definisi ijarah menurut pendapat beberapa ulama’ fiqih :
a. Ulama hanafiyah
عقدعلي المنا فع بعود
Artinya : “Akad atas suatu
kemanfaatan dengan pengganti”
b. Ulama’ Asy Syafi’iyah
عقد على منفعة مقصودة معلومة مباحة قابلة للبذ ل والاباحة بعوض ملوم
Artinya : Transaksi terhadap
suatu manfaat yang di tuju tertentu bersifat mubah dan boleh dimanfaatkan dengan imbalan
tertentu.
c. Ulama’ Malikiyah dan Hanabillah[8]
تمليك منافع شىء مباحة مدة معلومة بعوض
Artinya : Menjadikan suatu
kemanfaatan yang mubah dalam waktu tertentu dengan pengganti.
- Difinisi
yang paling relevan:
عقد على منفعة مقصودة معلومة مباحة قابلة للبذ ل والاباحة بعوض ملوم
Artinya : Transaksi terhadap suatu manfaat
yang di tuju tertentu bersifat mubah dan boleh dimanfaatkan dengan imbalan tertentu.
Ulama hanafiyah
|
Asy
Syafi’iyah
|
Malikiah dan hanabilah
|
penulis
|
عقدعلي المنا فع بعود
“Akad atas suatu kemanfaatan dengan pengganti
|
عقد على منفعة مقصودة معلومة مباحة قابلة للبذ ل والاباحة
بعوض ملوم
Transaksi terhadap suatu manfaat yang di
tuju tertentu bersifat mubah dan boleh dimanfaatkan dengan imbalan tertentu
|
تمليك منافع شىء مباحة مدة معلومة بعوض
Menjadikan suatu kemanfaatan yang mubah
dalam waktu tertentu dengan pengganti.
|
عقد على منفعة مقصودة معلومة مباحة قابلة للبذ ل والاباحة
بعوض ملوم
Transaksi terhadap suatu manfaat yang di
tuju tertentu bersifat mubah dan boleh dimanfaatkan dengan imbalan tertentu.
|
B. Syarat Ijarah
1. Syarat Terjadinya Akad
Syarat In’inqad
(terjadinya akad ) berkaitan dengan aqid, zat akad, dan tempat akad.
a) Ulama’ Malikiyah berpendapat
bahwa Tamyyiz adalah syarat ijaroh dan jual beli, sedangkan baligh adalah
syarat penyerahan.. Dengan demikian, akad anak mumayyiz adalah sah, tetapi bergantung atas keridoan walinya.
b) ulama’ hanafiyah, ‘aqid
(orang yang melakukan akad ) di syaratkan harus berakal dan mumayyiz (minimal 7
tahun) serta tidak disyaratkan harus baligh. Akan tetapi, jika bukan miliknya barang
miliknya sendiri, akad ijaroh anak mumayyiz, dipandang sah bila telah di
izinkan walinya.
c) Ulama’
Hanabilah dan syafi’iyah mensyaratkan orang yang akad harus mukalaf, yaitu
baligh dan berakal sedangkan anak mumayyiz belum dapat di katagorikan ahli akad.
2. Syarat
pelaksanaan (an-nafadz) agar ijarah terlaksana, barang harus dimiliki ‘aqid
atau ia memiliki kekuasaan penuh untuk akad ( ahliah ).
3. Syarat Sah
Ijarah
a. Adanya keridhoan dari kedua belah pihak
yang akad.
Syarah ini didasarkan pada
firman Allah SWT.
يا
أيها الذين امنوا لاتا
كلوا أموالكم بينكم بالبا طل الا انتكون تجارة عن تراض منكم
(النساء : 29)
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dengan perdagangan yang berlaku
atas dasar suka sama suka diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu.
Sungguh allah maha penyayang kepadamu. (Qs. Annisa’: 29)
Ijarah ini dapat dikategorikan
jual-beli. Sebab mengandung unsure pertukaran harta. Syarat ini berkaitan
dengan aqid.
b. Ma’kud alaih bermanfaat dengan jelas.
Diantara cara
untuk mengetahui ma’kud alaih (barang) adalah dengan menjelaskan manfaatnya
pembatasan waktu atau menjelaskan jenis pekerjaan jika ijarah atas pekerjaan
atau jasa seseorang.
1. Penjelasan manfaat
Penjelasan
manfaat dilakukan agar benda yang disewa benar-benar jelas.
2. Penjelasan waktu
Jumhur
ulama’ tidak memberikan batas maksimal atau minimal. Jadi dibolehkan selama
dengan syarat asalnya masih tetap ada sebab tidak ada dalil yang mengharuskan
untuk membatasinya.
Ulama’
Hanafiyah tidak mensyaratkan untuk penetapan awal waktu akad sedangkan ulama’
Syafi’iyah mensyaratkan sebab bila tidak dibatasi hal itu dapat menyebabkan
ketidaktahuan waktu yang wajib dipenuhi.
3. Sewa bulanan
Menurut
ulama’ akad tersebut dianggap sah pada bulan pertama sedangkan pada bulan
sisanya bergantung pada pemakaiannya. Selain itu, yang paling penting adalah
keridhoan dan kesucian dengan uang sewa.
4. Penjelasan jenis pekerjaan.
Penjelasan
tentang jenis pekerjaan sangat penting dan diperlukan ketika menyewa orang
untuk bekerja sehingga tidak terjadi kesalahan atau pertentangan.
5. Penjelasan waktu kerja
Tentang
batasan waktu kerja sangat bergantung pada pekerjaan dan kesepakatan dalam
akad.
c. Ma’kud
‘Alaih (barang) harus dapat memenuhi secara syara’.[9]
Dipandang
tidak sah menyewa hewan untuk berbicara pada anaknya sebab hal itu mustahil.
d Kemanfaatan benda dibolehkan
menurut syara’.
Pemanfaatan
benda harus digunakan untuk perkara yang dibolehkan syara’. Para ulama’ sepakat
melarang ijarah baik benda maupun orang untuk berbuat maksiat atau berbuat
dosa. Dalam kaidah fiqih dinyatakan menyewa untuk suatu kemaksiatan tidak
boleh.
e. Tidak menyewa untuk
pekerjaan yang diwajibkan kepadanya.
Contohnya
adalah menyewa orang untuk shalat fardhu, puasa dan lain-lain.
f. Tidak mengambil manfaat
bagi diri orang yang disewa
Tidak
menyewakan diri untuk perbuatan ketaatan sebab manfaat dari ketaaatan tersebut
adalah untuk dirinya, mengambil manfaat dari sisa hasil pekerjaannya hal itu
didasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh darog uffni bahwa Rasulullah SAW
melarang untuk mengambil bekas gilingan gandum. Ulama’ syafi’iyah menyepakati
dan ulama’ Hanabillah dan Malikiyah membolehkannya jika ukurannya jelas, sebab
hadits diatas dipandang tidak shohih.
g.Manfaat
ma’kud ‘alaih sesuai dengan keadaan yang umum.
Tidak
boleh menyewa pohon untuk dijadikan jemuran atau tempat berlindung sebab tidak
sesuai dengan manfaat pohon dalam ijarah.
4.Syarat barang sewaan (Ma’qud
‘alaih)
Di antara
barang syarat barang sewaan adalah: dapat di pegang dan dikuasai. Hal itu
didasarkan pada hadist Raslullah SAW yang melarang menjual barang yang tidak
da[pat dipegang atau dikuasai, sebagaimana jual beli.
5.Syarat
ujrah(upah)
Para
ulama’ telah menetapkan syaarat upah, yaitu:
a.
Berupa
harta tetap yang dapat diketahui.
b.
Tidak
boleh sejenis dengan barang
manfaat dari ijarah, seperti upah menyewa rumah untuk ditempati dengan
menempati rumah tersebut.
6.Syarat yang
kembali pada rukun akad.
Akad di isyartkan harus terhindar dari
syarat-syarat yang tidak diperlukan dalam akad atau syarat-syarat yang merusak
akad.
7.Syarat yang
laziman
Syarat yang
kelaziman ijarah terdiri atas dua hal berikut:
1)
Ma’qud
‘alaih(barang sewaan), terhindar dari cacat
Jika terdapat cacat ma’qud
‘alaih(barang sewaan)pnyewa boleh memilih antara meneruskan dengan membayar
penuh atau membatalkannya.
2)
Tidak
ada uzur yang dapat membatalkan akad
Ulama’ hanafiyah berpendapat
bahwa ijarah batal karena adanya uzur sebab kebuthan atau manfaat akan hilang
apabila ada uzur.
Perbuatan dalam Ijarah
Awalnya
akad ijarah di kenal dengan akad sewa menyewa yang obyeknya terbatas pada
manfaat suatu benda, kemudian asumsi tersebut berubah manakala wacana ijara
ternyata menguak permasalah perburuhan dengan menyetakan bahwa musta’jirnya
adalah pemilik suatu usaha. Sedangkan buruhnya di sebut ajir dan obyek yang di
jadikan sasaran yang berwujud imbalan(ujrah) di sebut Al-Ma’kud Alaih.[10]
Ulama’
hanafiyah berpendapat bahwa ijarah batal karena adanya usur sebab kebutuhan
atau manfaat akan hilang apabila ada usur yang dimaksud adalah sesuatu yang
baru.
Pendapat
yang paling relevan adalah pendapat syafi’I ialah
1. Orang yang akad
harus mukallaf yaitu baligh dan berakal,.
2. Penjelasan
waktu harus dibatasi sebab kalau tidak dibatasi dapat menyebabgakan ketidak tahuan waktu
yang wajib dipenuhi.
B. Rukun ijaroh terbagi menjadi 3;[11]
a) ‘Akid, yaitu pihak yang mengadakan
perjanjian, ‘Akid bias berupa mu’ajjir (pihak yang memberi ijarah) dan
musta’jir (pihak Yang membayar ijarah).
b) Ma’qud alaih, yaitu: objek yang dijadikan
sasaran baerujud imbalan dalam berijarah, ma’qud alaih bias berbentuk ujrah
(upah) dan manfaat.
c) Sighat yaitu suatu lafadz yang digunakan
dalam suatu perjanjian. Sighat itu berupa ijab (ucapan memberi) dan qabul
(ucapan menerima).
Berbeda dengan
golongan hanafiyahh yang beranggapan bahwa rukun ijarah hanya satu, yaitu ijab
dan qabul. Sedangkan lainnya masuk ke dalam syarat, karena yang dimaksud rukun
disini, yaitu hal-hal yang masuk ke dalam esensi perjanjian (akad). Sedangkan
syarat yaitu hal-hal yang terdapat di luar esensi perjanjian. Urgensitaas
syarat ini bisa di lihat dari
terwujud atau tidaknya akad ijarah tersebut.
Jika memang
ada di pastikan akad tersebut terwujud (syah).
a. Menurut Hanafiyah
Ijarah
menurut padangan mereka adalah suatu perjanjian yang berkonsekuensi terhadap
kepemilikan manfaat yang di ketahui, di tuju langsung dari objek, yang di
jadikan sasaran dengan kompetensi.
Pengklasifikasi terhadap akad
ijarah terbagi menjadi 2 bentuk. Pertama, Ijarah ala Al-Manafi, Yaitu : menyewa
sesuatu untuk di ambil manfaatnya. Kedua, ijarah Ala Al-A’mali : menyewa
seseorang untuk bekerja. Ijarah bentuk ke dua, masih terbagi menjadi dua bentuk
yaitu:
1) Al-Ajir Al-Mushtataki, yaitu seseorang
pekerja yang tidak mengkhususkan diri bekerja untuk saatu orang / badan usaha
tertentu.
2) Al-Ajir Al-Khas, yaitu untuk seseorang
pekerja yang mengkhususkan diri atau bada usaha tertentu.
Dengan demikian buruh dalam
konteks ke dinian menurut pandangan mereka bias masuk melalui jalur Al-Ajir
Al-Khas.
b. Menurut Malikiyah
Hakikat
ijarah menurut mereka adalah memilikikkan suatu manfaat yang dibolehkan pada
masa tertentu dengan kompensasi (imbalan) yang tidak timbul dari manfaat objek
yang menjadi sasaran perjanjian.
Manfaat
dalam objek perjanjian mempunyai implikasi yang signifikan terhadap bentuk
ijarah yang mereka definisikan bila manfaat tersebut berasal dari manusia
berupa fikiran dan tenaga, mereka menggunakan istilah “ijarah”. Tapi jika
manfaat tersebut tidak berasal dari manusia, mereka menggunaka istilah “kita”.
Jika perspektif ini yang
mereka pakai, maka persoalan buruh pada dalam term “ijarah khas”.
Pandangan
mereka terhadap ijarah adalah perjanjia terhadap suatu manfaat yang bias di
ketahui, bias di serah terimakan, ada kebolehan dan kompensasi yang bias di
ketahui.
Golongan
syafi’iyah membagi ijarah menjadi dua bentuk. Pertama ijarah Ala ‘Aini, yaitu
menyewa suatu benda yang betul-betul riil. Di katakana riil karena manfaat yang
terkait dengan benda yang di buat perjanjian. Manfaat buruh termasuk dalam
ijarah ini. Kedua ijarah Ala Al-Dhimmah, yaitu bentuk penyewaan yang masih
dalam tanggungan belum masuk terwujud di kala itu.[13]
d. Menurut Hanabillah
Menurut pandangan mereka, ijarah merupakan perjanjian atas suatumanfaat
yang di bolehkan. Waktunya di ketahui, kompensasi yang di ketahui, dan dengan
menggunakan lafadz ijarah, kira, serta lafadz yang sesuai dengan keduanya.
Mereka juga mengatakan bahwa menyewa manfaat manusia (buruh) boleh-boleh
saja ini di dasarkan pada diri nabi musa yang pernah menjadi buruh serta
menyewanya nabi Muhammad SAW terhadap dua orang sebagai petunjuk jalan.
e. Rukun yang paling relevan
Penulis berpedoman pada Syafi’I menurut beliau bahwa membagi ijarah menjadi dua bentuk. Pertama
ijarah Ala ‘Aini, yaitu menyewa suatu benda yang betul-betul riil. Di katakana
riil karena manfaat yang terkait dengan benda yang di buat perjanjian. Manfaat
buruh termasuk dalam ijarah ini. Kedua ijarah Ala Al-Dhimmah, yaitu bentuk
penyewaan yang masih dalam tanggungan belum masuk terwujud di kala itu.
C. Hukum Ijarah :
Hukum Ijarah sahih adalah tetapnya kemanfaatan bagi penyewa,
dan tetapnya upah bagi pekerja atau orang yang menyewakan ma’qud ‘alaih, sebab
ijarah termasuk jual-beli pertukaran, hanya saja dengan kemanfatan. 5
Adapun hukum ijarah rusak, menurut ulama’ Hanafiyah, jika
penyewa telah mendapatkan manfaat tetapi
orang yang menyewakan atau yang bekerja dibayar lebih kecil dari kesepakatan
pada waktu akad. Bila kerusakan tersebut terjadi pada syarat . Akan tetapi,
jika kerusakan disebabkan penyewa tidak memberitahukan jenis pekerjaan
perjanjiannya, upah harus diberikan semestinya.
Ulama’ Syafi’iyah berpendapat bahwa ijarah fasid sama dengan jual- beli
fasid, yakni harus dibayar sesuai dengan nilai atau ukuran yang dicapai oleh
barang sewaan.
1. Ketetapan
Hukum Akad dalam Ijarah
Menurut
ulama’ Hanafiyah, ketetapan akad ijarah adalah kemanfatan yang
sifatnya mubah. Menurut ulama’ Malikiyah, hukum ijarah sesuai dengan keberadaan
manfaat. Ulama’ Hanabillah dan
Syafi’iyah berpendapat bahwa hukum ijarah tetap pada keadaannya, dan hukum
tersebut menjadikan masa sewa, seperti benda yang tampak. 9
Perbedan pendapat diatas berlanjut pada
hal- hal berikut:
a. Keberadaan upah dan hubungannya dengan
akad
Menurut
ulama’ Syafi’iyah dan Hanabillah, keberadaan upah
bergantung pada adanya akad.
Menurut ulama’ Hanafiyah
dan Malikiyah, upah dimiliki berdasarkan akad itu
sendiri, tetapi diberikan sedikit demi sedikit, bergantung pada kebutuhan ‘aqid.
Menurut ulama’ Hanafiyah dan
Malikiyah, kewajiban upah didasarkan pada tiga perkara :
1. Mensyaratkan upah untuk dipercepat dalam zat akad,
2. Mempercepat tanpa adanya syarat
3. Dengan membayar kemanfaatan sedikit demi
sedikit. Jika dua orang yang akad bersepakat untuk mengakhirkan upah, hal itu
diperbolehkan.
b. Barang sewaan atau pekerjaan diberikan
setelah akad
Menurut
ulama’ Hanafiyah dan Malikiyah, ma’qud ‘alaih (barang sewaan) harus diberikan
setelah akad.
c. Ijarah dikaitkan dengan masa yang akan
datang
Ijarah untuk
waktu yang akan datang dibolehkan menurut ulama’ Malikiyah, Hanabillah dan
Hanafiyah, sedangkan Syafi’iyah melarangnya selagi tidak bersambung dengan
waktu akad.
a. Hukum Upah – Mengupah
Upah mengupah
atau ijarah ‘ala al- a’mal, yakni jual –
beli jasa, biasanya berlaku dalam beberapa hal seperti menjahit pakaian ,
membangun rumah, dan lain-lain. Ijarah ‘ala al-a’mal terbagi dua, yaitu:
1. Ijarah Khusus
Yaitu ijarah yang dilakukan
oleh seorang pekerja,. Hukumnya, orang yang bekerja tidak boleh bekerja selain
dengan orang yang telah yang memberinya upah.
2. Ijarah
Musytarik
Yaitu ijarah dilakukan secara
bersama- sama atau melalui kerja sama. Hukum dibolehkan bekerja sama dengan
orang lain.
TABEL
IJARAH MENURUT IV MADZHAB
Nama Madzhab
|
Pengertian
|
Rukun
|
Syarat
|
1.Hanafiyah
i.
anafiyah
2,. Maliki
3.Syafi’iyah
.4.Hanabillah.
|
ii.
Akad
atas suatu kemanfaatan dengan pengganti .
- Yaitu menjadikan suatu kemanfaatan yang mubah
dalam waktu tertentu dengan pengganti
-Transaksi terhadap suatu manfaat yang dituju,
tertentu, bersifat mubah dan boleh dimanfaatkan dengan imbalan tertentu.
-
Menjadikan milik suatu kemanfaatan yang mubah dalam waktu tertentu
dengan pengganti
|
ü Al-Ajir Al-Mushtataki yaitu seorang
pekerja yang tidak mengkhususkan diri bekerjauntuk satu orang.
ü Al-ajir Al-khas,yaitu seorang pekerja
mengkhususkan diri pada usaha tertentu
1. Berakal dan dapat membedakan
2. ‘aqid (orang yang akad)
1. ‘aqid (orang yang berakad )
2.Mu’jir dan musta’jir (baligh, berakal, cakap
melakukan tasharruf (mengendalikan harta) saling meridhoi).
1. Berakal dan dapat membedakan
2. ‘aqid (orang yang akad)
|
1. ‘aqid (orang yang melakukan akad )
disyaratkan harus berakal dan mumayyiz (min 7 tahun)
2.tidak mensyaratkan untuk penetapan awal waktu
akad.
- Tamyiz adalah syarat ijarah dan jual beli,
sedangka baligh adalah syarat penyerahan.
1. Orang yang akad harus mukallaf yaitu baligh
dan berakal,.
2.Penjelasan waktu harus dibatasi sebab kalau
tidak dibatasi dapat menyebabakan ketidak tahuan waktu yang wajib dipenuhi
-tamyyiz adalah syaratijarah dan jual beli,
sedangkan baligh adalah syarat penyerahan.
|
BAB III
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Menurut
pendapat Madhab Syafi’i membolehkan mengambil upah sebagai imbalan perbuatan
yang diketahui dan dengan tenaga yang diketahui pula. Imam Syafi’i berpendapat
juga bahwa pengambilan upah dari pengajaran berhitung khat, bahasa, sastra,
fiqih, hadist, membangun masjid, adalah boleh. Jika ijarah suatu pekerjaan,
maka kewajiban pembayaran upahnya pada waktu berakhirnya pekerjaan. Bila tidak
ada pekerjaan lain, jika akad sudah berlangsung dan tidak disyaratkan mengenai
pembayaran dan tidak ada ketentuan penangguhan, menurut Imam Syafi’i dan Ahmad,
sesungguhnya ia berhak dengan akad itu sendiri. Jika Mu’jir menyerahkan zat
benda yang disewa pada Musta’jir, ia berhak menerima bayarannya karena penyewa
(Musta’jir) sudah menerima kegunaan.
Hak menerima upah bagi
Musta’jir sebagai berikut :
v Ketika pekerjaan selesai dikerjakan
balasan sebagai kepada hadist yang diriwayatkan Ibnu Majah, Rasullullah
Saw.Bersabda :
عروقه
اعطوا الاجيراءجيراه قبل ان يجف
Berikanlah
upah sebelum keringat pekerja itu kering.
v Jika menyewa barang, uang sewaan dibayar
ketika akad sewa, kecuali bila dalam ditentukan lain, manfaat barang yang
diijarahkan mengalir selama penyewaan berlangsung.
Menurut ulama Syafi’iyah
syarat akan ijarah iaiah telah baliq dan berakal. Upah atau sewa dalam ikad
ijarah harus jelas, tertentu dan sesuatu yang bernilai harta.
DAFTAR PUSTAKA
1) Al-fiqhu ‘ala madzahibil ‘arba’ah (maktabah
Syamilah)
2) Atthughro’I, Bidayatul mujtahid, sura baya, Al-Hidayah
3) Hahhab, (2009), Abdu Al-Mizanul Kubra, lebanun, Dar Al-kotob
Al-Ilmiyah