11 Apr 2013

FIQIH MUAMALAH BAB 17

BAB 17
BARANG TITIPAN
A.    Pengertian
Barang tititpan di kenal  dalam bahasa fiqih dengan  al-wadiah menurut bahasa al-wadiah ialah suatu yang di tempatkan bukan pada pemiliknya supaya di jaganya( ma wudi’a inda ghair malikiha la yahfadzahu), berarti al-wadiah ialah memeberikan . maka yang ke dua wadi’ah dari segi bahasa ialah menerima, seperti seseorang berkata awda’tuhu artinya aku menerima harta tersebut darinya (qobiltu minhu dzalika al-mal li yakuna wadi’an ‘’ indi) secara bahasa al-wadi’ah memiliki dua bahasa al-wadi’ah memiliki dua makn yaitu memberikan harta untuk di jaganya dan pada penerimanya (itha’u al-mal liyahfadzahu wa fi qubuliha).
Menurut istilah  al-wadi’ah di jelaskan oleh para ulama’ sebagai berikut.
1.         Menurut maliki al-wadi’ah memiliki dua arti arti yang pertama ialah
عِبَارَةٌ عَنْ تَوْكِيْلٍ عَلَى مُجَرَّدِحِفْظِ الْمَالِ
‘’Ibarat perwakilan untuk memiliki harta secara mujarad ‘’
Artinya yang ke dua ialah:
عِبَارَةٌ عَنْ نَقْلِ مُجَرَّدِحِفْظِ الشَّيْئِ الْمَمْلُوْكِ الَّذِى يَصِخُ نَقْلُهُ اِلَى الْمَوْدَعِ
‘’ibarat pemindahan pemeliharaan sesuatu yang dimiliki secara mujarad yang sah dipindahkan kepada penerima titipan’’
2.                                                                                                                                           Menurut hanafiah bahwa alwadiah ialah berarti al-ida’ yaitu:
عِبَارَةٌ عَنْ اَنْ يَسْتَلِطَ شَخْصٌ غَيْرَهُ عَلَى حِفْظِ مَالِهِ صَرِ يْحًا اَوْدِلاَلَةً
‘’ibarat seseorang menyempurnakan  harta kepada yang lain untuk di jaga secara keras atau dialah.’’
Makna yang kedua ialah al-wadi’ah sesuatu yang di titipkan (al-syai’I al-maudi’) yaitu
مَاتَتْرُكَ عِنْدَالاَمِيْنِ لِيَحْفَظَهَا
‘’sesuatu yang di tinggalkan pada orang terpercaya supaya dijaganya’’
3.                                                                                                                                           Menuryt safi’iyah yang dimaksud dengan wadi’ah ialah
اَلْعَقْدُ الْمُفْتَضَى لِحِفْظِ الشَيْئِ الْمُوْدَعِ
‘’akad yang di laksanakan untuk menjaga Sesutu yang di titipkan’’
4.                                                                                                                                           Menurut hanabilah yag dimaksud dengan al-wadi’ad ialah:
اْلاِيْدَاعُ تَوْكِيْلٌ فِى الْحِفْظِ تَبَرُّعًا
‘’titipan, perwakilan dalam pemeliharaan sesuatu secara bebas (tabaru)

5.        Menurut hasbi ash-shidiqie al-wadiah ialah
عَقْدُ مَوْ ضُوْعَهُ اِسْتِعَانَةُ اْلاِنْسَانِ بِغَيْرِهِ فِى حِفْظِ مَالِهِ
‘’akad akad yang intinya minta pertolongan pada seseorng dalam memelihara harta
penitip’’

6.                                                                                                                                           Menurut syaih syihab al-din al-qalyubi wa syaih umairah al-wadiah ialah:
اَلْعَيْنُ الَّتِى تُوْضَعُ عِنْدَ شَخْصٍ لِيَحَّفَظَهَا
‘’benda yang diletakkan pada oranglain untuk di peliharanya’’
7.                                                                                                                                           Syaih Ibrahim al-bajuri berpendapat bahwa yang di maksud al-wadi’ah ialah;
اَلْعَقْدُ الْمُفْتَضَى لِلاِْ سْتِحْفَاظِ
‘’Akad yang dilakukan untuk penjagaannya’’
8.        Menurut idris ahmad bahwa titipan artinya barang ang di serahkan di amanahkan  kepada seseorang supaya barang itu di jaga baik-baik
Setelah di ketahui definisi-definisi al-wadi’ah yang di jelaskan oleh para ahlinya, maka kiranya dapat di pahami bahwa yangdi maksud dengan al-wadi’ah adalah penitipan yaitu akad seseorang pada yang  lain dengan menitipkan suatu benda untuk dijaganya secara layak (sebagau mana halnya kebiasaan) ) apabila ada kerusakan pada benda titipan, padahal benda tersebut dijaga sebagai mana layaknya, maka penerima titipan tidak wajib menggantikannya tapi bila ada kerusakan itu disebabkan kelalaian maka ia wajib menggantikanya

B.     DASAR HUKUM WADI’AH
Al-Wadiah adalah amanah bagi orang yang menerima titipan dan ia wajib mengembalikannya pada waktu pemilik firman allah swt.

فَاِنْ اَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَذِّ الَّذِى اؤْتُمِنَ اَمَانَتَهُ وَلْيَتَّقِِ اللهَ رَبَّهُ (البقراة:283)
Jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang di percayai itu menunaikan amanat dan bertakwlah kepada allah sebagai tuhannya (al-baqarah:283)

Orang yang menerima barang titipan tidak berkewajiban menjamin, kecuali bila ia tidak melakukan kerja dengan sebagaimana mestinya atau melakukan jinayah terhadap barang titipan. Berdasrkan sabda nabi yang diriwayatkan oleh imam dar al-quthni dan riwayat arar bin syu’aib dari bapaknya, dari mkakeknya bahwa nabi saw, bersabda
مَنْ اَوْدَعَ وَدِيْعَةً فَلاَ ضَمَانَ عَلَيْهِ (رواه الدارقطنى)
‘’ siapa yang dititipi, ia tidak berkewajiban menjamin’’ (riwayat daruqhutni)
لاَضَمَانَ عَلَى مُؤْتَمَنٍ (رواه البيهقى)
 ‘’tidak ada kewjiban menjamin untuk orang yang di beri amanat ‘’ (riwayat baihaqi)


C.     Rukun Dan Syarat Al-Wadi’ah
Menurut hanafiah rukun al-wadi’ah ada satu, yaitu ijab dan qabul, menurut hanafiah dalam shigat ijab di anggap sah apabila ijab tersebut di lakukan degan perkataan yang jelas (sharih) maupun dengan perkataan samaran (khiyanah) hal ini berlaku juga untuk Kabul, disyaratkan bagi yang menitipkan dan yang di titipi barang dengan mukalaf. Tidah sah apabila yang menitipkan dan yang menerima benda titipan adalah orang gila atau anak yang belum dewasa (shabiy).
            MOrang yang menerima barang titipan tidak berkewajiban menjamin, kecuali bila ia tidak melakukan kerja dengan sebagaimana mestinya atau melakukan jinayah terhadap barang titipan. Berdasrkan sabda nabi yang diriwayatkan oleh imam dar al-quthni dan riwayat arar bin syu’aib dari bapaknya, dari mkakeknya bahwa nabi saw, bersabda
‘’ siapa yang dititipi, ia tidak berkewajiban menjamin’’ (riwayat daruqhutni)
‘’tidak ada kewjiban menjamin untuk orang yang di beri amanat ‘’ (riwayat bukharienurut syafi’iyah al-wadi’ah memiliki tiga rukun, yaitu:
Barang                                                       
a.       yang di titipkan syarat barang yang di titipkan adalah barang atau benda itu merupakan suatu yang dimiliki menurut syara’.
b.      Orang yang menitipkan dan yang menerima titipan, disyaratkan bagi penitip dan penerima sudah baligh, berakal, serta syarat-syarat lain yang seuai dengan syarat-syarat yang berwakil.
c.       Shigat ijab qabul al-wadi’ah, disyaratkan pada ijab qabul ini di mengerti oleh kedua belah pihak, baik denagn jelas maupun samar.

D.     Hukum menerima benda titipan
Di jelaskan oleh sulaiman rasyid bahwa hokum menerima benda titipan ada empat macam, yaitu sunat, haram, wajib, dan makruh secara lengkap di jelaskan sebagai berikut.
a.       Sunat,di sunnatkan menerima titipan bagi orang yang percaya kepada dirinya bahwa dia sanggup menjaga benda-benda yang dititipkan kepadanya.al-wadi’ah adalah satu-satu bentuk tolong menolong yang diperintahkan oleh Allah dalam Al-qur’an.tolong menlong secara umum hukumnya sunnat. Hal ini di anggap sunnah menerima benda-benda titipan ketika ada orang lain yang pantas pula untuk menerima titipan
b.      Wajib, diwajibkan bagi seseorang menerima titipan bagi seseorang yang percaya bahwa dirinya sanggup menerima dan menjaga benda-benda tersebut, sementara orang lain tidak ada satupun yang dapat dipercaya untuk memelihara benda-benda tersebut.
c.       Haram, apabila seseorang tidak kuasa dan tidak sanggup memelihara benda-benda titipan. Berarti member kesempatan (peluang) kepad kerusakan atau hilagya benda-benda sehingga akan menyulitkan kepada orang yang menitipkan.
d.      Makruh, bagi orang yang percaya kepada dirinya sendiri bahwa dia mampu menjaga benda-benda titipan, tetapi dia kurang yakin (ragu) pada kemampuannya, maka orang yang seperti ini dimakruhkan menerima benda-benda titipan sebab di kawatirkan dia akan berkhianat kepada yang menitipkan dengan cara merusak benda-benda titipan atau menghilangkannya.
E.     Rusak Dan Hilangnya Benda Titipan
Jika orag yang menerima titipan mengaku bahwa benda-benda titipan telah rusak tanpa adanya unsur kesengajaan darinya, maka ucapannya harus di sertai dengan sumpah supaya perkataaanya itu kuat kedudukannya menurut hukum. Namun ibnu al-munzir berpendapat bahwa orang tersebut di atas sudah dapat diterima ucapannya secara hokum tanpa di butuhkannya adanya sumpah.
            Menurut ibnu taimiyah apabila seseorang yang memelihara.