17 Des 2013

fahri ijarah

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang masalah
                Bagaimanakah hukum ijarah menurut empat madzhab tersebut? Pendapat manakah yang paling relevan?

B. Tujuan penulisan
     Dengan berdasarkan LBM di atas maka penulis bersasumsi agar kiranya            menemukan pandapat dan ketetapan manakah diantara keempat madzhab tersebut yang paling relevan.

C. Manfaat
     Guna untuk menelaah dan kemudian menerapkan hukum tersebut kepada kehidupan (interaksi) sesama kaum muslim.

D. Sistematika
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Tujuan Penulisan
C. Manfa’at
D. sistematika
BAB II: PEMBAHASAN
A. Pengertian Ijarah
1) Menurut Hanafi
2) Menurut Syafi’iyah

3) Menurut Malikiyah dan Hanabillah

4) Pengertian yang paling relevan

               B. Syarat Ijarah
1.      Menurut Hanafi
2.      Menurut Syafi’iyah
3.      Menurut Malikiyah dan Hanabillah
4.      Syarat yang paling relevan
              C. Rukun Ijarah
a)      Menurut Hanafi
b)      Menurut Syafi’iyah
c)      Menurut Malikiyah dan Hanabillah
d)     Rukun yang paling relevan
              D. Hukum Ijarah
a)      Menurut Hanafi
b)      Menurut Syafi’iyah
c)      Menurut Malikiyah dan Hanabillah
d)     Hukum yang paling relevan
E. Tabel
BAB III PENUTUP
Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA




BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Ijarah
Sebelum dijelaskan pengertian sewa menyewa dan upah atau ijarah, terlebih dahulu akan dikemukakan mengenai makna operasional ijarah itu sendiri. Idris Ahmad dalam bukunya yang berjudul Fiqih Syafi’i berpendapat ijarah berarti upah mengupah. Hal ini terlihat ketika beliau menerangkan rukun dan syarat upah mengupah, yaitu mu’jir dan musta’jir (yang memberikan upah dan yang menerima upah), sedangkan Nor Hasanuddin sebagai penerjemah Fiqih Sunnah karya Sayyid Sabiq menjelaskan makna ijarah dengan sewa menyewa.
Dari dua buku tersebut ada perbedaan terjemahan kata ijarah dari bahasa Arab kedalam bahasa Indonesia. Antara sewa dan upah juga ada perbedaan makna operasional, sewa biasanya digunakan untuk benda, seperti “seorang mahasiswa menyewa kamar untuk tempat tinggal selama kuliah”, sedangkan upah digunakan untuk tenaga, seperti “para karyawan bekerja dipabrik dibayar gajinya (upahnya) satu kali dalam seminggu”.
Secara etimologis al-ijarah berasal dari kata al-ajru yang arti menurut bahasanya ialah al-iwadh yang arti dalam bahasa indonesianya adalah ganti dan upah. Sedangkan menurut Rahmat Syafi’I dalam fiqih Muamalah ijarah adalah بيع المنفعة (menjual manfaat).
Dalam syari’at Islam ijarah adalah jenis akad untuk mengambil manfaat dengan kompensasi. Sedangkan menurut Sulaiman Rasjid mempersewakan ialah akad atas manfaat (jasa) yang dimaksud lagi diketahui, dengan tukaran yang diketahui, menurut syarat-syarat yang akan dijelaskan kemudian.
Berdasarkan hal itu, menyewakan pohon agar dimanfaatkan buahnya hukumnya tidak sah karena pohon itu sendiri bukan keuntungan atau manfaat. Demikian juga menyewakan dua jenis mata uang (emas dan perak), makanan untuk dimakan, barang yang dapat ditakar dan ditimbang. Alasannya semua jenis barang tersebut tidak dapat dimanfaatkan kecuali dengan mengkonsumsi bagian dari barang tersebut. Hukum sewa juga diberlakukan atas sapi, domba atau unta untuk diambil susunya. Akad sewa mengharuskan penggunaan manfaat dan bukan barang itu sendiri.
Suatu manfaat, terkadang berbentuk manfaat atas barang, seperti rumah untuk ditempati, mobil untuk dikendarai. Kadangkala dalam bentuk karya seperti karya seorang arsitek, tukang tenun, penjahit.
Apabila akad sewa diputuskan, penyewa sudah memliki hak atas manfaat dan pihak yang menyewakan berhak mengambil kompensasi sebab sewa adalah akad mu’awwadhah timbal balik
Jadi, bisa kita simpulkan bahwa Al–ijarah berasal dari kata Al–Ajru yang arti menurut bahasanya iaiah al–‘iwadh yang arti dalam bahasa indonesianya iaiah sewa, jasa, ganti dan upah. Al- Ijarah merupakan salah satu bentuk kegiatan mu’amalah dalam memenuhi keperluan hidup manusia, seperti sewa-menyewa, kontrak, atau menyewakan jasa perhotelan dan lain-lain.
Menurut  etimologi  ijarah adalah (menjual manfaat). Demikian juga artinya menurut terminology syara’ untuk lebih jelasnya, dibawa ini akan kemukakan beberapa definisi ijarah menurut pendapat beberapa ulama’ fiqih :
a.       Ulama hanafiyah
عقدعلي المنا فع بعود

Artinya : “Akad atas suatu kemanfaatan dengan pengganti”
b.       Ulama’ Asy Syafi’iyah
عقد على منفعة مقصودة معلومة مباحة قابلة للبذ ل والاباحة بعوض ملوم
Artinya : Transaksi terhadap suatu manfaat yang di tuju tertentu bersifat mubah dan boleh dimanfaatkan dengan imbalan tertentu.

c.     Ulama’ Malikiyah dan Hanabillah[8]

تمليك منافع شىء مباحة مدة معلومة بعوض

Artinya : Menjadikan suatu kemanfaatan yang mubah dalam waktu tertentu dengan pengganti.

    1. Difinisi yang paling relevan:
عقد على منفعة مقصودة معلومة مباحة قابلة للبذ ل والاباحة بعوض ملوم
Artinya : Transaksi terhadap suatu manfaat yang di tuju tertentu bersifat mubah dan boleh dimanfaatkan dengan imbalan tertentu.
Ulama hanafiyah
Asy Syafi’iyah
Malikiah dan hanabilah
penulis
عقدعلي المنا فع بعود
“Akad atas suatu kemanfaatan dengan pengganti

عقد على منفعة مقصودة معلومة مباحة قابلة للبذ ل والاباحة بعوض ملوم
Transaksi terhadap suatu manfaat yang di tuju tertentu bersifat mubah dan boleh dimanfaatkan dengan imbalan tertentu
تمليك منافع شىء مباحة مدة معلومة بعوض
Menjadikan suatu kemanfaatan yang mubah dalam waktu tertentu dengan pengganti.

عقد على منفعة مقصودة معلومة مباحة قابلة للبذ ل والاباحة بعوض ملوم
Transaksi terhadap suatu manfaat yang di tuju tertentu bersifat mubah dan boleh dimanfaatkan dengan imbalan tertentu.


B. Syarat Ijarah
1.  Syarat Terjadinya Akad
Syarat In’inqad (terjadinya akad ) berkaitan dengan aqid, zat akad, dan tempat akad.
a)     Ulama’ Malikiyah berpendapat bahwa Tamyyiz adalah syarat ijaroh dan jual beli, sedangkan baligh adalah syarat penyerahan.. Dengan demikian, akad anak mumayyiz adalah sah, tetapi bergantung atas keridoan walinya.
b)     ulama’ hanafiyah, ‘aqid (orang yang melakukan akad ) di syaratkan harus berakal dan mumayyiz (minimal 7 tahun) serta tidak disyaratkan harus baligh. Akan tetapi, jika bukan miliknya barang miliknya sendiri, akad ijaroh anak mumayyiz, dipandang sah bila telah di izinkan walinya.
c)     Ulama’ Hanabilah dan syafi’iyah mensyaratkan orang yang akad harus mukalaf, yaitu baligh dan berakal sedangkan anak mumayyiz belum dapat di katagorikan ahli akad.
2. Syarat pelaksanaan (an-nafadz) agar ijarah terlaksana, barang harus dimiliki ‘aqid atau ia memiliki kekuasaan penuh untuk akad ( ahliah ).  
3.  Syarat Sah  Ijarah
a.       Adanya keridhoan dari kedua belah pihak yang akad.
Syarah ini didasarkan pada firman Allah SWT.

 يا أيها الذين امنوا لاتا كلوا أموالكم بينكم بالبا طل الا انتكون تجارة عن تراض منكم
(النساء : 29)

Artinya: Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dengan perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sungguh allah maha penyayang kepadamu. (Qs. Annisa’: 29)

Ijarah ini dapat dikategorikan jual-beli. Sebab mengandung unsure pertukaran harta. Syarat ini berkaitan dengan aqid.
b.      Ma’kud alaih bermanfaat dengan jelas.
Diantara cara untuk mengetahui ma’kud alaih (barang) adalah dengan menjelaskan manfaatnya pembatasan waktu atau menjelaskan jenis pekerjaan jika ijarah atas pekerjaan atau jasa seseorang.
1. Penjelasan manfaat
Penjelasan manfaat dilakukan agar benda yang disewa benar-benar jelas.
2.  Penjelasan waktu
Jumhur ulama’ tidak memberikan batas maksimal atau minimal. Jadi dibolehkan selama dengan syarat asalnya masih tetap ada sebab tidak ada dalil yang mengharuskan untuk membatasinya.
Ulama’ Hanafiyah tidak mensyaratkan untuk penetapan awal waktu akad sedangkan ulama’ Syafi’iyah mensyaratkan sebab bila tidak dibatasi hal itu dapat menyebabkan ketidaktahuan waktu yang wajib dipenuhi.
3.  Sewa bulanan
Menurut ulama’ akad tersebut dianggap sah pada bulan pertama sedangkan pada bulan sisanya bergantung pada pemakaiannya. Selain itu, yang paling penting adalah keridhoan dan kesucian dengan uang sewa.
4.      Penjelasan jenis pekerjaan.
Penjelasan tentang jenis pekerjaan sangat penting dan diperlukan ketika menyewa orang untuk bekerja sehingga tidak terjadi kesalahan atau pertentangan.
5.      Penjelasan waktu kerja
Tentang batasan waktu kerja sangat bergantung pada pekerjaan dan kesepakatan dalam akad.
c. Ma’kud ‘Alaih (barang) harus dapat memenuhi secara syara’.[9]
Dipandang tidak sah menyewa hewan untuk berbicara pada anaknya sebab hal itu mustahil.
d Kemanfaatan benda dibolehkan menurut syara’.
Pemanfaatan benda harus digunakan untuk perkara yang dibolehkan syara’. Para ulama’ sepakat melarang ijarah baik benda maupun orang untuk berbuat maksiat atau berbuat dosa. Dalam kaidah fiqih dinyatakan menyewa untuk suatu kemaksiatan tidak boleh.
e. Tidak menyewa untuk pekerjaan yang diwajibkan kepadanya.
Contohnya adalah menyewa orang untuk shalat fardhu, puasa dan lain-lain.
f. Tidak mengambil manfaat bagi diri orang yang disewa
Tidak menyewakan diri untuk perbuatan ketaatan sebab manfaat dari ketaaatan tersebut adalah untuk dirinya, mengambil manfaat dari sisa hasil pekerjaannya hal itu didasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh darog uffni bahwa Rasulullah SAW melarang untuk mengambil bekas gilingan gandum. Ulama’ syafi’iyah menyepakati dan ulama’ Hanabillah dan Malikiyah membolehkannya jika ukurannya jelas, sebab hadits diatas dipandang tidak shohih.
g.Manfaat ma’kud ‘alaih sesuai dengan keadaan yang umum.
Tidak boleh menyewa pohon untuk dijadikan jemuran atau tempat berlindung sebab tidak sesuai dengan manfaat pohon dalam ijarah.

4.Syarat barang sewaan (Ma’qud ‘alaih)
Di antara barang syarat barang sewaan adalah: dapat di pegang dan dikuasai. Hal itu didasarkan pada hadist Raslullah SAW yang melarang menjual barang yang tidak da[pat dipegang atau dikuasai, sebagaimana jual beli.
5.Syarat ujrah(upah)
Para ulama’ telah menetapkan syaarat upah, yaitu:
a.             Berupa harta tetap yang dapat diketahui.
b.            Tidak boleh sejenis dengan barang manfaat dari ijarah, seperti upah menyewa rumah untuk ditempati dengan menempati rumah tersebut.
6.Syarat yang kembali pada rukun akad.
  Akad di isyartkan harus terhindar dari syarat-syarat yang tidak diperlukan dalam akad atau syarat-syarat yang merusak akad.
7.Syarat yang laziman
Syarat yang kelaziman ijarah terdiri atas dua hal berikut:
1)            Ma’qud ‘alaih(barang sewaan), terhindar dari cacat
Jika terdapat cacat ma’qud ‘alaih(barang sewaan)pnyewa boleh memilih antara meneruskan dengan membayar penuh atau membatalkannya.
2)            Tidak ada uzur yang dapat membatalkan akad
Ulama’ hanafiyah berpendapat bahwa ijarah batal karena adanya uzur sebab kebuthan atau manfaat akan hilang apabila ada uzur.

Perbuatan dalam Ijarah
Awalnya akad ijarah di kenal dengan akad sewa menyewa yang obyeknya terbatas pada manfaat suatu benda, kemudian asumsi tersebut berubah manakala wacana ijara ternyata menguak permasalah perburuhan dengan menyetakan bahwa musta’jirnya adalah pemilik suatu usaha. Sedangkan buruhnya di sebut ajir dan obyek yang di jadikan sasaran yang berwujud imbalan(ujrah) di sebut Al-Ma’kud Alaih.[10]
Ulama’ hanafiyah berpendapat bahwa ijarah batal karena adanya usur sebab kebutuhan atau manfaat akan hilang apabila ada usur yang dimaksud adalah sesuatu yang baru.
Pendapat yang paling relevan adalah pendapat syafi’I ialah
1. Orang yang akad harus mukallaf yaitu baligh dan berakal,.
2. Penjelasan waktu harus dibatasi sebab kalau tidak dibatasi dapat          menyebabgakan ketidak tahuan waktu yang wajib dipenuhi.





B.  Rukun ijaroh terbagi menjadi 3;[11]
a)      ‘Akid, yaitu pihak yang mengadakan perjanjian, ‘Akid bias berupa mu’ajjir (pihak yang memberi ijarah) dan musta’jir (pihak Yang membayar ijarah).
b)      Ma’qud alaih, yaitu: objek yang dijadikan sasaran baerujud imbalan dalam berijarah, ma’qud alaih bias berbentuk ujrah (upah) dan manfaat.
c)      Sighat yaitu suatu lafadz yang digunakan dalam suatu perjanjian. Sighat itu berupa ijab (ucapan memberi) dan qabul (ucapan menerima).
Berbeda dengan golongan hanafiyahh yang beranggapan bahwa rukun ijarah hanya satu, yaitu ijab dan qabul. Sedangkan lainnya masuk ke dalam syarat, karena yang dimaksud rukun disini, yaitu hal-hal yang masuk ke dalam esensi perjanjian (akad). Sedangkan syarat yaitu hal-hal yang terdapat di luar esensi perjanjian. Urgensitaas syarat ini bisa di lihat dari terwujud atau tidaknya akad ijarah tersebut.
Jika memang ada di pastikan akad tersebut terwujud (syah).
a.      Menurut Hanafiyah
Ijarah menurut padangan mereka adalah suatu perjanjian yang berkonsekuensi terhadap kepemilikan manfaat yang di ketahui, di tuju langsung dari objek, yang di jadikan sasaran dengan kompetensi.
Pengklasifikasi terhadap akad ijarah terbagi menjadi 2 bentuk. Pertama, Ijarah ala Al-Manafi, Yaitu : menyewa sesuatu untuk di ambil manfaatnya. Kedua, ijarah Ala Al-A’mali : menyewa seseorang untuk bekerja. Ijarah bentuk ke dua, masih terbagi menjadi dua bentuk yaitu:
1)      Al-Ajir Al-Mushtataki, yaitu seseorang pekerja yang tidak mengkhususkan diri bekerja untuk saatu orang / badan usaha tertentu.
2)      Al-Ajir Al-Khas, yaitu untuk seseorang pekerja yang mengkhususkan diri atau bada usaha tertentu.
Dengan demikian buruh dalam konteks ke dinian menurut pandangan mereka bias masuk melalui jalur Al-Ajir Al-Khas.



b.      Menurut Malikiyah
Hakikat ijarah menurut mereka adalah memilikikkan suatu manfaat yang dibolehkan pada masa tertentu dengan kompensasi (imbalan) yang tidak timbul dari manfaat objek yang menjadi sasaran perjanjian.
Manfaat dalam objek perjanjian mempunyai implikasi yang signifikan terhadap bentuk ijarah yang mereka definisikan bila manfaat tersebut berasal dari manusia berupa fikiran dan tenaga, mereka menggunakan istilah “ijarah”. Tapi jika manfaat tersebut tidak berasal dari manusia, mereka menggunaka istilah “kita”.
Jika perspektif ini yang mereka pakai, maka persoalan buruh pada dalam term “ijarah khas”.
c.       Menurut Syafi’iyah[12]
Pandangan mereka terhadap ijarah adalah perjanjia terhadap suatu manfaat yang bias di ketahui, bias di serah terimakan, ada kebolehan dan kompensasi yang bias di ketahui.
Golongan syafi’iyah membagi ijarah menjadi dua bentuk. Pertama ijarah Ala ‘Aini, yaitu menyewa suatu benda yang betul-betul riil. Di katakana riil karena manfaat yang terkait dengan benda yang di buat perjanjian. Manfaat buruh termasuk dalam ijarah ini. Kedua ijarah Ala Al-Dhimmah, yaitu bentuk penyewaan yang masih dalam tanggungan belum masuk terwujud di kala itu.[13]
d.      Menurut Hanabillah
Menurut pandangan mereka, ijarah merupakan perjanjian atas suatumanfaat yang di bolehkan. Waktunya di ketahui, kompensasi yang di ketahui, dan dengan menggunakan lafadz ijarah, kira, serta lafadz yang sesuai dengan keduanya.
Mereka juga mengatakan bahwa menyewa manfaat manusia (buruh) boleh-boleh saja ini di dasarkan pada diri nabi musa yang pernah menjadi buruh serta menyewanya nabi Muhammad SAW terhadap dua orang sebagai petunjuk jalan.


e.       Rukun yang paling relevan
Penulis berpedoman pada Syafi’I menurut beliau bahwa  membagi ijarah menjadi dua bentuk. Pertama ijarah Ala ‘Aini, yaitu menyewa suatu benda yang betul-betul riil. Di katakana riil karena manfaat yang terkait dengan benda yang di buat perjanjian. Manfaat buruh termasuk dalam ijarah ini. Kedua ijarah Ala Al-Dhimmah, yaitu bentuk penyewaan yang masih dalam tanggungan belum masuk terwujud di kala itu.
C.     Hukum Ijarah :
Hukum Ijarah sahih  adalah tetapnya kemanfaatan bagi penyewa, dan tetapnya upah bagi pekerja atau orang yang menyewakan ma’qud ‘alaih, sebab ijarah termasuk jual-beli pertukaran, hanya saja dengan kemanfatan. 5
Adapun hukum ijarah rusak, menurut ulama’ Hanafiyah, jika penyewa  telah mendapatkan manfaat tetapi orang yang menyewakan atau yang bekerja dibayar lebih kecil dari kesepakatan pada waktu akad. Bila kerusakan tersebut terjadi pada syarat . Akan tetapi, jika kerusakan disebabkan penyewa tidak memberitahukan jenis pekerjaan perjanjiannya, upah harus diberikan semestinya.
Ulama’ Syafi’iyah berpendapat bahwa ijarah fasid sama dengan jual- beli fasid, yakni harus dibayar sesuai dengan nilai atau ukuran yang dicapai oleh barang sewaan.
1.      Ketetapan  Hukum Akad dalam Ijarah
Menurut ulama’ Hanafiyah, ketetapan akad ijarah adalah kemanfatan yang sifatnya mubah. Menurut ulama’ Malikiyah, hukum ijarah sesuai dengan keberadaan manfaat.  Ulama’ Hanabillah dan Syafi’iyah berpendapat bahwa hukum ijarah tetap pada keadaannya, dan hukum tersebut menjadikan masa sewa, seperti benda yang tampak. 9 Perbedan pendapat  diatas berlanjut pada hal- hal berikut:
a.       Keberadaan upah dan hubungannya dengan akad
Menurut ulama’ Syafi’iyah dan Hanabillah, keberadaan upah bergantung pada adanya akad.
Menurut ulama’ Hanafiyah dan Malikiyah, upah dimiliki berdasarkan akad itu sendiri, tetapi diberikan sedikit demi sedikit, bergantung  pada kebutuhan ‘aqid.
Menurut ulama’ Hanafiyah dan Malikiyah, kewajiban upah didasarkan pada tiga perkara :
1.      Mensyaratkan  upah untuk dipercepat dalam zat akad,
2.      Mempercepat tanpa adanya syarat
3.      Dengan membayar kemanfaatan sedikit demi sedikit. Jika dua orang yang akad bersepakat untuk mengakhirkan upah, hal itu diperbolehkan.
b.      Barang sewaan atau pekerjaan diberikan setelah akad
Menurut ulama’ Hanafiyah dan Malikiyah, ma’qud ‘alaih (barang sewaan) harus diberikan setelah akad.
c.       Ijarah dikaitkan dengan masa yang akan datang
Ijarah untuk waktu yang akan datang dibolehkan menurut ulama’ Malikiyah, Hanabillah dan Hanafiyah, sedangkan Syafi’iyah melarangnya selagi tidak bersambung dengan waktu akad.
a.       Hukum Upah – Mengupah
Upah mengupah atau  ijarah ‘ala al- a’mal, yakni jual – beli jasa, biasanya berlaku dalam beberapa hal seperti menjahit pakaian , membangun rumah, dan lain-lain. Ijarah ‘ala al-a’mal terbagi dua, yaitu:
1.      Ijarah Khusus
Yaitu ijarah yang dilakukan oleh seorang pekerja,. Hukumnya, orang yang bekerja tidak boleh bekerja selain dengan orang yang telah yang memberinya upah.
2.      Ijarah  Musytarik
Yaitu ijarah dilakukan secara bersama- sama atau melalui kerja sama. Hukum dibolehkan bekerja sama dengan orang lain.








TABEL IJARAH MENURUT  IV MADZHAB

Nama Madzhab
Pengertian
Rukun
Syarat
1.Hanafiyah
i.                                                                                anafiyah






2,. Maliki







3.Syafi’iyah














.4.Hanabillah.


ii.                                                                                                ­Akad atas suatu kemanfaatan dengan pengganti .










- Yaitu menjadikan suatu kemanfaatan yang mubah dalam waktu tertentu dengan pengganti



-Transaksi terhadap suatu manfaat yang dituju, tertentu, bersifat mubah dan boleh dimanfaatkan dengan imbalan tertentu.









-  Menjadikan milik suatu kemanfaatan yang mubah dalam waktu tertentu dengan pengganti
ü Al-Ajir Al-Mushtataki yaitu seorang pekerja yang tidak mengkhususkan diri bekerjauntuk satu orang. 


ü Al-ajir Al-khas,yaitu seorang pekerja mengkhususkan diri pada usaha tertentu



1. Berakal dan dapat membedakan
2. ‘aqid (orang yang akad)




1. ‘aqid (orang yang berakad )
2.Mu’jir dan musta’jir (baligh, berakal, cakap melakukan tasharruf (mengendalikan harta) saling meridhoi).








1. Berakal dan dapat membedakan
2. ‘aqid (orang yang akad)

1. ‘aqid (orang yang melakukan akad ) disyaratkan harus berakal dan mumayyiz (min 7 tahun)


2.tidak mensyaratkan untuk penetapan awal waktu akad.



- Tamyiz adalah syarat ijarah dan jual beli, sedangka baligh adalah syarat penyerahan.



1. Orang yang akad harus mukallaf yaitu baligh dan berakal,.
2.Penjelasan waktu harus dibatasi sebab kalau tidak dibatasi dapat menyebabakan ketidak tahuan waktu yang wajib dipenuhi

-tamyyiz adalah syaratijarah dan jual beli, sedangkan baligh adalah syarat penyerahan.







BAB  III
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Menurut pendapat Madhab Syafi’i membolehkan mengambil upah sebagai imbalan perbuatan yang diketahui dan dengan tenaga yang diketahui pula. Imam Syafi’i berpendapat juga bahwa pengambilan upah dari pengajaran berhitung khat, bahasa, sastra, fiqih, hadist, membangun masjid, adalah boleh. Jika ijarah suatu pekerjaan, maka kewajiban pembayaran upahnya pada waktu berakhirnya pekerjaan. Bila tidak ada pekerjaan lain, jika akad sudah berlangsung dan tidak disyaratkan mengenai pembayaran dan tidak ada ketentuan penangguhan, menurut Imam Syafi’i dan Ahmad, sesungguhnya ia berhak dengan akad itu sendiri. Jika Mu’jir menyerahkan zat benda yang disewa pada Musta’jir, ia berhak menerima bayarannya karena penyewa (Musta’jir) sudah menerima kegunaan.
Hak menerima upah bagi Musta’jir sebagai berikut :
v  Ketika pekerjaan selesai dikerjakan balasan sebagai kepada hadist yang diriwayatkan Ibnu Majah, Rasullullah Saw.Bersabda :
عروقه اعطوا الاجيراءجيراه قبل ان يجف

Berikanlah upah sebelum keringat pekerja itu kering.
v  Jika menyewa barang, uang sewaan dibayar ketika akad sewa, kecuali bila dalam ditentukan lain, manfaat barang yang diijarahkan mengalir selama penyewaan berlangsung.
Menurut ulama Syafi’iyah syarat akan ijarah iaiah telah baliq dan berakal. Upah atau sewa dalam ikad ijarah harus jelas, tertentu dan sesuatu yang bernilai harta.
                                                                    

                                                                                                        


DAFTAR PUSTAKA

1)      Al-fiqhu ‘ala madzahibil ‘arba’ah (maktabah Syamilah)
2)      Atthughro’I, Bidayatul mujtahid, sura baya, Al-Hidayah
3)      Hahhab, (2009), Abdu Al-Mizanul Kubra, lebanun, Dar Al-kotob Al-Ilmiyah


























[8]. Abdurrahman Aljazairi, Al-fiqhu ‘ala madzahibil ;aeba’ah (maktabah syamilah)
[9] Al-Qurthubi, bidayatul mujtahid, al-hidayah, surabaya, 166
[10]. Abdur Rahman Al jazairi, Al-madzahibul ’arba’ah (Al maktabah Syamilah)
[11] Abdur Rahman Al jazairi, Al-madzahibul ’arba’ah (Al maktabah Syamilah)

[12] Al-qurthubi, bidayatul mujtahid, al-hidayah, surabaya, 171
[13]. Al-madzahibul ’arba’ah (Al maktabah Syamilah)